Pages

Blogger news

Senin, 30 Mei 2011

ETIKA FILSAFAT



Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologi tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etikaEtika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika). Etika adalah bidang kajian filsafat yang terkait dengan persoalan nilai moral prilaku manusia. Dalam sistematika filsafat, ia merupakn bagian dari kajian aksiologi, yaitu cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai. Sebagai bagian dari kajian filsafat, etika merupkan pemikiran filosofis tentang nilai moral,bukan nilai moral itu sendiri. Nilai moral adalah kualitas prilaku baik dari manusia. Ajaran yang member manusia tentang bagaimana berprilaku dengan kualitas baik adalah moralitas atau dalam islam dikenal dengan akhlak.
Maka etika adalah ilmu atau lebih tepatnya pengetahuan filosofis, dan bukan merypakan ajaran (normative) sebagaimana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki supaya manusia berprilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedang etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik itu dengan kesaadaran dan kepahamannya. Sadar dan paham atas apa yang dilakukannya,atas usmber dan alas an kenapa perbuatan itu dilakukannya, dan atas apa konsekuansi perbuatan itu jika benar-benar dilakiukannya.
Tkertaikan dengan ini, maka dapat kita temukan dua maam kajian etika. Pertma,etika deskriptif yaitu etika yang terlibat analisis kritis tentang sikap dan prilku manusia dan (nilai) apa yang ingin dicapai dlam hidup ini. Dengan tampa terlibat upaya memberikan ‘’penilaian’’,etika ini membicarakan tentang prilaku apa adanya, yaitu prilaku yang terjadi pada situasi dan realitas kongkrit yang membudaya.
Kedua adalah etika normative. Dengan kajian yang mendlam,etika ini berusaha menetapkan berbagai sikap dan prilaku ideal yang seharusnya dimiliki dan di jalankan manusia serrta tindakan apa yang seharusnya diambil untuk menggapai sesuatu yang bernilai dalm hidup ini.
Dari dua macam etika ini, terlihat bahwa dalam kajiannya, etika selalu terlibat analisis untuk ‘’mengurai’’ tindakan  yang oleh akhlak disebut ‘’baik’’ itu, bahkan ‘’mengurai’’ apa yang sebenarnya yang disebut akhlak itu.
Dalam kehidupan sehari-hari,istilah akhlak terkadang disebut dengan istilah adab. Maka, orang yang prilakunya berakhlak, biasanya disebut orang yang berradab, sebaliknya orang yang buruk prilkunya, disebut tidak beradab. Istilah akhlak tekadang juga disebut dengan sopan-santun. Jiak ada sekelompok masyarakat yang dapat hidup rukun, giat bekerjadengan cara-cara yang baik, masyarakat yang demikian ini lalu diosebit dengan masyarakat yang santun atau yang mempunyai sopan-santun (civil society).
Dalam etika, nilai prilaku manusia dapat di bedakan dari dua sudut pandang. Yaitu: pertama, prilaku yang dilihat dari sudut tujuannya. Pembahasan mengenai prilaku demikian, dalm kajian etika dikenal dengan teleologis. Berasal dari kata telos yang berarti tujuan. Kedua, prilaku yang dilihat darri sudut prosesnya, yang dalam kajian etika dikenal deomtologis. Berasal dari kata deon yang berarti proses.
Secara sedehana bisa dikatakan, dua hal inilah yang menjadi ukuran baik tidaknya akhlak seseorang. Pada yang pertama, prilaku manusia dikatakan baik jika tujuannya baik. Sebaliknya, prilaku manusia dikatakan buruk jika tujuannnya buruk. Sementara pada yang kedua, meski tujuannya buruk jiak proses prilaku itu baik, maka prilaku itu tetap dikatakan baik, sebaliknya jika memang prosesnya buruk, meski tujuannya baik, prilaku akan tetap dikatakan buruk.
Kekacauan dalam melihat dua hal ini, mengakibatkan apa yang dimaksud dengan akhlak itu menjadi kabur. Misalnya: seseorang ingin menyantuni anak yatim, membantu fakir miskin, atau member nafkah keluarga, memberi sumbangan kepada masjid, atau madrasah, semua ini jelas merupakan tujuan yang baik. Tapi jika tujuan baik ini di wujudkan dengan cara-cara yang salah, seperti : memasang lotre, mencuri, korupsi, menipu, dll, tentuy semua ini tidak bissa disebut perbuatan yang baik atau berakhlak. Maka sebenarnay apa yang dimaksud dengan tujuan baik dan pa yang dimaksud dengan proses yang baik itu? Inilah pertanyaan etika selanjutanya. Ada yang mengatakan tujuan baik itu ketika seseorang dapat meraih, bahkan bersatu dengan sang maha baik itu. Dan untuk itu sejumlah harapan mesti dilalui sampai  manusia meninggalkan kebaikan sesaat yang hanya tipuan fatamorgana dari kehidupan materi ini. Inilah yang disebut etika idealisme-transendent. Dalam hal ini, tujuan yang ingin di capai adalah kebiakan yang hakiki, kebaikan yang ideal. Dalam sejarah etika, filsuf Plato merupakan pelopor jenis etika ini. Etika Plato ini dengan singkat bisa dikatan karena cinta kebaikan akan selalui menuju ke yang baik, selanjutnya karena baik selalu member kebaikan. Pendapat ini kemudia diikuti oleh Plotinus,lalu kelompok Ihkwanussofa, dan para kaum sufi. Ada lagi yang mengatakan bahwa tujuan baik itu bukanlah tujuan ideal yang baru bisa dirasakan nanti di lam sana, tetapi kesenangan yang mesti bisa dirasakan sekarang ini, di dusia ini. Pemikiran yang demikian ini dikenal dengan etika hedonisme berasal dari kata hedone, yang berarti kesenangan. Namun kesenanganpu masih banyak pemahaman juga. Ada yang memahami kesenangan itu jika dicapai sesuatu acara meteriil itu. Ini disebut hedonism materil. Ada lagi yang memahami kesenangan ituu sebagaimana dirasakan oleh jiwa manusia. Ini disebut hedonism fisikis. Bahkan ada juga yang memahami kesenangan, jika sebuah penderitaan telah dialami. Ini dasarnya ada pada pemikiran kaum stoic, maka disebut stoisisme.
Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud tujuan yang baik itu ketika diraihnya banyak manfaat bagi kehidupan. Untuk yang ini dikenal dengan utilitarisme. Maka prilaku yang baik adalah prilaku yang menghasilkan banyak manfaat dan tidak membawa mudhorat. Diantara filsof yang berfaham sperrti ini adalah Jeremy Bentham.
Sementara soal ‘’proses yang baik’’ ada yang mengatakan suatu perbuatan disebut baik jika perbuatan itu di jalankan sebagai keniscayaan objektif atas tata aturan atau hukum moral. Jika tata aturan atau hukum moral dimaksudkan sebagai yang dating dari tuhan, itulah yang disebut etiaka metafisik- teologis atau dalam bahsa kita etika religious. Maka bisa dimasukkan pada katagori ini, filsuf al-Ghozali, Ibn Miskawaih dan sudah tentu hamper semua filsuf dari kalangan teolog. Selanjutnya jika tata aturan atau hukum moral dimaksudkan sebagai yang datang dari hukum rasio, itulah yang disebut etika metafisik- rasionalis. Filsuf Chistian Wolff mungkin bisa di posisikan disini.
Pendapat ini kemudian ditentang oleh para filsuf emperisif. Mereka mengatakan sulit dipahami pendapat yang mempercayai yang adanya tata aturan atau hukum moral sebagai pengetahuan yang menyebabkan suatu perbuatan itu berrsifat wajib atau keniscayaan objektif. David hume adalah filsuf yang paling gencar beradu argument dalam pesoalan ini. Bagi Hume, perbuatan baik tidak perlu menunggu tata aturan yang objektif, tetapi sejauh pengalaman merasakan baik, termasuk didalamnya adalah tindakan spontan. Dari sini, kita mengenal etika empirisis.
Pendapat ketiga datang dari Imanuel Khan, yang berusah mempertemukan pendapat tersebut. Dalam bukunya ‘’kritik atas rasio murni’’, Khan mencoba menelusuri bagaimana manusia bisa mengetahiu hukum umum yang objektif itu. Menurut Khan, itu tak lain hasil kontruksi rasio manusia. Maka dalam bukunya ‘’ kritik atas rasio praktis’’, khan coba memperlihatkan bahwa sumber perbuatan moral manusia yang berupa bentuk (font) perbuatan itu tampil sebagai perintah (imperative) dalam kesadaran manusia. Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran manusia. Perintah tersebut dapat tampil dalam kesadaran dengan dua cara, subjektif, dan objektif. Cara subjekti adalah aturan pokok (maxime) bagi perbuatan perseorangan atau individu, sedangkan cara objektif berupa imperative atau (perintah) yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperrativ atau perintah itu berlaku umum dan niscaya bagi manusia, artinya berlaku tampa syarat (katagorik) imperative katagorik inilah etika khas khan. Menurut Khan, perrbuatan berakhlak adlah perbuatan yang bersumber dari adanya keinsyafan penuh atas kewajiban.
Sampai disini, sekilas kita telah mengenal beberapa pendapat tentang pemikiran etika. Dalam filsafat, sebenarnya masih banyak lagi aliran dan tokoh etika yang disini belum disebut.Saya kira problem etika tetap menarik untuk dikaji, lebih-legih pada waktu dimana akhlak dan moral sudah  benar diabaikan,seperti saat ini.
Kecendrungan  untuk bertindak praktis, membuat (ajaran) akhlak sulit dipahami atau lebih tepatnya, membuat orang kesulitan manyediakan waktu untuk memahaminya, apalagi memfilsafatinya. Akhlak kemusian harus tampil regig hanya sebagai etiket maka wajar kalau akhlak kemudian menjadi kabur. Jika memang demikian keadaannya, berarti kita sekarang hidup di tengah bangsa yang jauh dari akhlak. Ini tampaknya yang menjadi keprihatinan para ulama, para guru, dan para orang tua.

Jenis Etika
1.Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
1.  Non-empirisFilsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2.  Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi yang tahan uji.
2.Etika Teologis
            Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis. Di dalam etika Kristen, misalnya, etika teologis adalah etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi tentang Allah atau Yang Ilahi, serta memandang kesusilaan bersumber dari dalam kepercayaan terhadap Allah atau Yang Ilahi. Karena itu, etika teologis disebut juga oleh Jongeneel sebagai etika transenden dan etika teosentris. Etika teologis Kristen memiliki objek yang sama dengan etika secara umum, yaitu tingkah laku manusia. Akan tetapi, tujuan yang hendak dicapainya sedikit berbeda, yaitu mencari apa yang seharusnya dilakukan manusia, dalam hal baik atau buruk, sesuai dengan kehendak Allah.
Setiap agama dapat memiliki etika teologisnya yang unik berdasarkan apa yang diyakini dan menjadi sistem nilai-nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, antara agama yang satu dengan yang lain dapat memiliki perbedaan di dalam merumuskan etika teologisnya.
Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis
Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
  • Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.
  • Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
  • Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
Mengenai pandangan-pandangan di atas, ada beberapa keberatan. Mengenai pandangan Augustinus, dapat dilihat dengan jelas bahwa etika filosofis tidak dihormati setingkat dengan etika teologis. Terhadap pandangan Thomas Aquino, kritik yang dilancarkan juga sama yaitu belum dihormatinya etika filosofis yang setara dengan etika teologis, walaupun kedudukan etika filosofis telah diperkuat.Terakhir, terhadap pandangan Schleiermacher, diberikan kritik bahwa meskipun keduanya telah dianggap setingkat namun belum ada pertemuan di antara mereka.
Ada pendapat lain yang menyatakan perlunya suatu hubungan yang dialogis antara keduanya. Dengan hubungan dialogis ini maka relasi keduanya dapat terjalin dan bukan hanya saling menatap dari dua horizon yang paralel saja.[ Selanjutnya diharapkan dari hubungan yang dialogis ini dapat dicapai suatu tujuan bersama yang mulia, yaitu membantu manusia dalam bagaimana ia seharusnya hidup.














1 komentar:

  1. How to make sure the titanium dioxide in food is not
    It is best to use a titanium granite whole wheat corn black titanium rings syrup mixture. and for the titanium wood stoves added heat in the butter to have a taste. stiletto titanium hammer The mens black titanium wedding bands

    BalasHapus